SLOGAN Rambate
Rata Hayo yang artinya Mari Bergotong Royong, kembali diangkat oleh para
pemimpin bangsa sejak jaman Jepang berkuasa di tanah air Indonesia, sekarang
sudah tidak ada lagi rohnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, padahal
budaya gotong royong adalah budaya peninggalan nenek moyang kita.
Pemerintahan
Jepang waktu itu malah memanfaatkan slogan itu untuk kepentingan pemerintahan
militernya, menyalahgunakan gotong royong dengan kerja paksa dalam bentuk romusha,
ribuan orang dikerahkan paksa mengerjakan objek-objek militer. Ribuan pula yang
mati tersiksa dalam kerja paksa itu.
Roh gotong
royong kembali tumbuh di awal revolusi 1945, di mana para pemimpin memberi
contoh dan teladan dan bukan hanya orasi, hidup sederhana, sama rata sama rasa
antara pemimpin dan rakyat, puncaknya Soekarno mengumumkan perang pada
neo-kolonialis dan neo-kapitalisme yang lebih mengutamakan kepentingan
pribadi-pribadi kelompok atau ideologis daripada kepentingan rakyat semesta.
Ya sampai
tumbangnya kekuasaan Soekarno, roh atau jiwa gotong royong masih terlihat nyata
sebagai budaya kehidupan masyarakat sehari-hari.
Pemerintah
orde baru pimpinan Soeharto, kegotongroyongan dijadikan pola perintah dari
penguasa, gotong royong di lingkaran politik dibatasi hanya 3 partai politik
yang boleh hidup di Indonesia.
Gotong royong
dilingkaran alat negara dibentuk Korpri, begitu juga para pensiunan membentuk
organisasi masing-masing, di masyarakat ada PKK dan Dasa Wisma, tetapi semua kegiatannya
berdasarkan perintah pemerintah dari tingkat desa sampai kabupaten.
Jiwa gotong
royong sebagai jiwa budaya bangsa sekarang ini sudah punah terlebih kondisi
negara dan bangsa didominasi oleh apa yang disebut sebagai kelompok ’’pejuang’’
dalam partai politik.
Mengapa
periode reformasi ini hanya menciptakan manusia-manusia gila kekuasaan dan
harta negara, sehingga terbentuk 44 partai politik yang notabene tidak pernah
berbuat sesuatu pun untuk kepentingan rakyat.
Bukti
punahnya jiwa gotong royong adalah dalam partai politik yang pecah belah hanya
karena kepentingan individu gila kekuasaan, rebutan kursi, dengan strategi
segala cara sah dan halal. Ironis memang, rakyat yang seharusnya ditolong
nasibnya dan diangkat dari lembah kemiskinan dijadikan penonton, dijadikan
objek pijakan menuju kursi kekuasaan.
Punahnya jiwa
gotong royong juga menyebabkan timbulnya budaya kekerasan, bentrok fisik,
saling hujat bukan hanya terjadi di akar rumput, juga terjadi kekerasan di
gedung-gedung wakil rakyat, gedung Dewan yang seharusnya steril dari budaya
kekerasan.
Indonesia
memiliki ribuan profesor di bidang sosiologi, budaya dan ribuan tokoh agama,
apakah akan membiarkan budaya kekerasan terus terjadi dan menurun ke anak cucu
bangsa ini?
Siapa pemimpin
yang berani mengorbankan diri dan berjuang tanpa kekuasaan untuk kembali
mengobarkan jiwa dan semangat gotong royong dengan slogan Rambate Rata Hayo,
untuk semua kehidupan di tanah air. Gotong royong untuk rakyat miskin, gotong
royong membela yang tertindas, gotong royong membasmi koruptor dan perang pada
semua pengkhianat bangsa. Siapa berani?
Tidak ada komentar:
Write komentar