Alamat Biro Majalengka: Jl. Raya Bandung-Cirebon, Blok Warna Sari 2, Kosan 3 Saudara, Desa Gandasari, Kecamatan Kasokandel, Kabupaten Majalengka-Jawa Barat. Tlp. 085321202912, email:majalengkabiro@gmail.com. Alamat Redaksi SKU WIP: Jl. Holis No.16, Sudirman-Bandung, Tlp. 022-87786328 - 08122027778, email: redaksiwip@yahoo.com

Gotong Royong Basmi Koruptor



SLOGAN Rambate Rata Hayo yang artinya Mari Bergotong Royong, kembali diangkat oleh para pemimpin bangsa sejak jaman Jepang berkuasa di tanah air Indonesia, sekarang sudah tidak ada lagi rohnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, padahal budaya gotong royong adalah budaya peninggalan nenek moyang kita. 

Pemerintahan Jepang waktu itu malah memanfaatkan slogan itu untuk kepentingan pemerintahan militernya, menyalahgunakan gotong royong dengan kerja paksa dalam bentuk romusha, ribuan orang dikerahkan paksa mengerjakan objek-objek militer. Ribuan pula yang mati tersiksa dalam kerja paksa itu.

Roh gotong royong kembali tumbuh di awal revolusi 1945, di mana para pemimpin memberi contoh dan teladan dan bukan hanya orasi, hidup sederhana, sama rata sama rasa antara pemimpin dan rakyat, puncaknya Soekarno mengumumkan perang pada neo-kolonialis dan neo-kapitalisme yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi-pribadi kelompok atau ideologis daripada kepentingan rakyat semesta.

Ya sampai tumbangnya kekuasaan Soekarno, roh atau jiwa gotong royong masih terlihat nyata sebagai budaya kehidupan masyarakat sehari-hari.

Pemerintah orde baru pimpinan Soeharto, kegotongroyongan dijadikan pola perintah dari penguasa, gotong royong di lingkaran politik dibatasi hanya 3 partai politik yang boleh hidup di Indonesia.

Gotong royong dilingkaran alat negara dibentuk Korpri, begitu juga para pensiunan membentuk organisasi masing-masing, di masyarakat ada PKK dan Dasa Wisma, tetapi semua kegiatannya berdasarkan perintah pemerintah dari tingkat desa sampai kabupaten.

Jiwa gotong royong sebagai jiwa budaya bangsa sekarang ini sudah punah terlebih kondisi negara dan bangsa didominasi oleh apa yang disebut sebagai kelompok ’’pejuang’’ dalam partai politik.

Mengapa periode reformasi ini hanya menciptakan manusia-manusia gila kekuasaan dan harta negara, sehingga terbentuk 44 partai politik yang notabene tidak pernah berbuat sesuatu pun untuk kepentingan rakyat.

Bukti punahnya jiwa gotong royong adalah dalam partai politik yang pecah belah hanya karena kepentingan individu gila kekuasaan, rebutan kursi, dengan strategi segala cara sah dan halal. Ironis memang, rakyat yang seharusnya ditolong nasibnya dan diangkat dari lembah kemiskinan dijadikan penonton, dijadikan objek pijakan menuju kursi kekuasaan.

Punahnya jiwa gotong royong juga menyebabkan timbulnya budaya kekerasan, bentrok fisik, saling hujat bukan hanya terjadi di akar rumput, juga terjadi kekerasan di gedung-gedung wakil rakyat, gedung Dewan yang seharusnya steril dari budaya kekerasan.

Indonesia memiliki ribuan profesor di bidang sosiologi, budaya dan ribuan tokoh agama, apakah akan membiarkan budaya kekerasan terus terjadi dan menurun ke anak cucu bangsa ini?

Siapa pemimpin yang berani mengorbankan diri dan berjuang tanpa kekuasaan untuk kembali mengobarkan jiwa dan semangat gotong royong dengan slogan Rambate Rata Hayo, untuk semua kehidupan di tanah air. Gotong royong untuk rakyat miskin, gotong royong membela yang tertindas, gotong royong membasmi koruptor dan perang pada semua pengkhianat bangsa. Siapa berani?

Tidak ada komentar:
Write komentar
Hanya dengan 50.000 dapat blog murah gratis Template Premium
close
<>

Translate

Wartawan

CATEGORY

close