Proporsi jumlah masyarakat desa dan kota hampir seimbang, hanya berbeda sekian persen. Jika mampu dikelola dengan baik, sejatinya desa bisa menjadi motor penggerak ekonomi suatu negara.
Menurut catatan Kompas.com, pada tahun 2012 penduduk Indonesia yang tinggal
di perkotaan mencapai 54%. Jika ada 240 juta penduduk Indonesia, artinya paling
sedikit ada 129,6 juta orang yang tinggal di kota. Jumlah ini pun semakin hari
semakin meningkat. Tidak lain tidak bukan disebabkan oleh urbanisasi.
Ketersediaan infrastruktur, ekonomi yang menggeliat serta daya tarik
gemerlapnya kota menjadi magnet tersendiri yang membuat banyak orang lebih
memilih tinggal di kota.
Akhirnya, saat ini desa ditinggalkan oleh penduduknya, terutama yang berusia
muda yang kebanyakan merantau ke kota. Bisa dihitung, berapa banyak pemuda dari
desa yang kuliah di kota, kemudian setelah lulus memilih berkarir di kota.
Akhirnya, desa lebih banyak dihuni orang-orang tua, yang berprofesi sebagai
petani, penderes nira, pekebun, dan sebagainya. Padahal kemajuan suatu desa
memerlukan urun tangan para pemudanya.
Pengamatan penulis, banyak sekali yang telah lulus sekolah memilih bekerja
di kota. Bisa dihitung mereka yang akhirnya kembali ke desa dan membangun
desanya. Alasannya pun sederhana, di kota lebih mudah mencari uang dibanding di
desa.
Hal ini harusnya menjadi perhatian, bagi pemerintah, lembaga sosial
masyarakat, dan bagi para pemudanya sendiri. Potensi di pedesaan jauh lebih
besar. Meskipun fasilitas infrastrukturnya masih kurang. Masing-masing desa
memiliki karakter tersendiri yang membedakannya dengan desa lain. Ada desa yang
berpotensi sebagai desa bahari, desa wisata, desa wisata pegunungan, desa
wisata pantai, desa wisata hutan, desa pertanian, desa perkebunan, desa
peternakan, desa perhutangan, dan sebagainya. Kalau mampu dikelola dengan baik,
tentunya kemakmuran warga desa bisa meningkat.
Sebagai contoh, desa di pesisir Kebumen, terutama di Petanahan, yang
merupakan sentra perkebunan Pepaya Calina di Jawa Tengah. Disana hampir semua
petaninya menanam pepaya Calina, atau yang biasa kita kenal dengan pepaya
California. Kalau potensi ini bisa digarap dengan baik, tentu saja bisa
menjadikannya sebagai laboratorium bagi para akademisi yang ingin meneliti
tentang penanaman pepaya di lahan pesisir. Ada juga, desa sejenis di
Purwokerto, desa Karanggude Kulon namanya, yang juga mengembangkan perkebunan
pepaya Calina. Bedanya, lahan disini ditanam di lahan yang berada di kaki
gunung Slamet. Berbeda dengan lahan di Petanahan yang merupakan lahan pesisir,
lahan di Purwokerto merupakan lahan kaki gunung, yang tentu saja kadar unsur
haranya pun berbeda. Keduanya memiliki persamaan, yaitu bisa dikembangkan
menjadi desa wisata pertanian pepaya Calina, laboratorium hidup, dan berpotensi
pula menjadi pusat ekonomi usaha pepaya Calina dan produk olahannya.
Banyaknya pemuda yang merantau ke kota tentunya merupakan peluang tersendiri
bagi mereka yang ingin berkarir di desa. Sedikitnya pemuda terpelajar di desa
merupakan kekuatan tersendiri untuk membangun desa menjadi lebih baik. Pada
akhirnya, apabila desa mampu berdiri secara mandiri, artinya segala macam produknya
tidak harus disuplai dari kota, maka kemakmuran pun akan datang ke desa. Bila
sudah makmur, urbanisasi pun dapat ditekan.
Tidak ada komentar:
Write komentar