Dunia politik
dan mesin-mesin penggeraknya dan orang-orang yang bertarung untuk
kekuasaan selalu senang hati memberi kita kabar buruk. Belum lama
berselang kita menyaksikan Jokowi menjadi pujaan orang banyak. Dalam
berita-berita yang kita baca atau kita tonton, ia sering dimunculkan
sebagai sosok pemimpin yang dicintai orang-orang miskin karena
kesediaannya blusukan, juga karena sikapnya yang tegas dan lugas
terhadap birokrasi di bawahnya yang bekerja buruk.
Sekarang, ketika ia dianggap sebagai
kandidat terkuat untuk memenangi pemilu presiden, tiba-tiba ia
dibanting-banting dengan pelbagai propaganda dan banyak cerita buruk
tentangnya. Entah cerita-cerita itu ngawur atau tidak, bohong atau
tidak, yang penting disiarkan ke publik. Tetapi memang untuk membanting
orang, kita tidak memerlukan cerita yang benar. Cerita yang bohong pun
sudah cukup ampuh untuk mengganggu pikiran.
Saya bersedih untuk orang banyak yang
menaruh harapan besar kepadanya. Saya bersedih karena para politisi
sepertinya tidak rela melihat ada satu orang mampu merebut hati orang
banyak. Orang seperti itu harus dihancurkan, sebab ia membahayakan bagi
orang-orang lain. Dan, saya yakin, jika Jokowi terus melaju, mereka juga
yang akan berebut untuk mendekatinya dan merampasnya dari orang banyak.
Namun itu hanya kesan saya, cara pandang
pribadi saya dalam membaca situasi hari ini. Anda bisa tidak setuju,
bisa setuju pada apa yang saya sampaikan. Yang lebih penting dari itu
adalah fakta berikut ini: nanti akan ada sejumlah nama yang disodorkan
kepada kita oleh partai-partai politik untuk kita pilih dalam pemilu
presiden beberapa bulan lagi. Tiga partai terbesar dalam pemilu
legislatif yang baru lalu--PDIP, Golkar, dan Gerindra--kemungkinan besar
akan mengusung Jokowi, Aburizal Bakrie, dan Prabowo Subianto.
Partai-partai lain di bawah mereka, yang perolehan suaranya naik
dibandingkan pemilu legislatif lima tahun sebelumnya, akan sangat
percaya diri kali ini untuk melakukan tawar-menawar. Partai-partai yang
lebih imut lagi perolehan suaranya juga akan melakukan tawar-menawar.
Saya kira tawar-menawar adalah hak segala bangsa dan itu bisa dilakukan dengan mengedepankan agama, keutuhan Indonesia Raya,
kejayaan dunia akhirat bangsa ini, atau apa saja sebagai alasan
permukaan. Yang ada di bawah permukaan kita tidak tahu. Kita tidak tahu
apa yang belum dilakukan orang dan kita tidak tahu apa yang ada dalam
pikiran orang dan ke arah mana pikiran itu akan membawa langkah
seseorang. Kita hanya bisa menilai seseorang dari apa-apa yang sudah ia
kerjakan di masa lalu.
Tentang bagaimana mempertimbangkan masa
lalu seseorang sebelum kita memutuskan memilih atau menolak
pencalonannya sebagai presiden, kita bisa belajar dari Insiden
Chappaquiddick. Sebelum peristiwa 18 Juli 1969, Chappaquiddick tak
banyak dibicarakan. Ia hanya pulau kecil di ujung timur pulau Martha’s
Vineyard dan menjadi bagian dari pulau yang lebih besar itu.
Di pulau itu, senator Edwad Kennedy, 37
tahun, menggelar pesta bagi enam gadis yang telah menjadi staf kampanye
kepresidenan Robert F. Kennedy. Robert sendiri meninggal pada pagi hari 6
Juni 1968. Seorang pemuda Yordania kelahiran Palestina menembakkan
peluru tepat di kepala kandidat yang seharusnya menjadi pemenang dan
bakalan tampil sebagai calon presiden Partai Demokrat untuk ditarungkan
melawan Richard Nixon dari Partai Republik.
Pesta di Chappaquiddick dihadiri oleh
kerabat Kennedy dan kawan-kawan dekat mereka. Menjelang tengah malam,
Ted meninggalkan pesta bersama Mary Jo Kopechne, salah satu dari enam
gadis itu, mengemudikan mobilnya di jalanan tanah yang bergelombang dan
kehilangan kendali di dekat jembatan dan mobilnya kemudian terjun ke
perairan.
Ted berhasil keluar keluar dari mobil
dan berenang ke daratan dan meninggalkan tempat itu. “Setelah mencapai
daratan,” kata Ted dalam pengakuannya kepada polisi, “saya beberapa kali
menyelam lagi untuk melihat apakah orang yang bersama saya masih ada di
dalam mobil. Upaya saya gagal. Saya kelelahan dan terpukul. Saya ingat
kembali ke tempat teman-teman saya berpesta. Ada mobil parkir di depan cottage,
saya masuk dan duduk di bangku belakang dan minta diantarkan ke
Edgarton.... Ketika kesadaran saya benar-benar pulih pagi ini, saya
segera menelepon polisi.”
Tapi ia terlambat. Ketika Ted menelepon,
polisi sudah lebih dulu ada di tempat kejadian dan menemukan mobilnya
di perairan dan jenazah Kopechne di dalamnya. Senator itu dinyatakan
bersalah—ia tidak melapor dalam waktu sembilan jam setelah kejadian— dan
divonis dua bulan penjara karena lalai dan menyebabkan kematian orang
lain.
Peristiwa 19 Juli 1968 ini menjadi skandal nasional di Amerika Serikat dan dianggap mempengaruhi keputusan Ted Kennedy
untuk tidak ikut bertarung dalam memperebutkan posisi calon presiden
dari Partai Demokrat, tahun 1972 dan 1976, meskipun di tahun 1972
dukungan terhadapnya sangat kuat. Baru pada tahun 1980 Ted memutuskan
ikut dalam bursa pencalonan dan ia kalah. Insiden Chappaquiddick kembali
menjadi pembicaraan besar pada saat ia maju. Beberapa kolumnis dan
sejumlah editorial di koran-koran mempersoalkan lagi jawaban-jawaban Ted
atas kasus tersebut.
Saya membaca kasus ini sudah lama dan
selalu ingat hingga sekarang karena hal-hal penting yang ia sampaikan.
Pertama, saya terpukau bahwa Ted tidak pernah bisa menjadi kandidat
presiden karena keteledorannya di masa lalu yang merenggut nyawa satu
orang. Sebesar apa pun nama Kennedy di belakang namanya, ia memiliki
rekam jejak yang menyebabkan lebih banyak orang menolaknya. Kedua, pers
benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi. Ia
mengingatkan publik tentang masa lalu seseorang dan itu menjadi bahan
pertimbangan penting bagi orang banyak untuk menentukan pilihan mereka.
(A.S. Laksana, penulis prosa terbaik 2014 versi Majalah Tempo, blog: as-laksana.blogspot.com )
Tidak ada komentar:
Write komentar