Pemilu 9 April, Pemilu Legislatif (Pileg) usai sudah. Partai politik (parpol) bersiap menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) bulan Juli 2014. Gerindra dan Prabowo sedang bungah
menikmati hasil Pileg. Golkar dan Aburizal Bakrie sedang sibuk
menghitung perolehan jumlah kursi di DPR. Suryadharma Ali sibuk
menangkis gugatan dan mengamankan posisinya sebagai Ketua Umum PPP.
Partai Demokrat, sedang puyeng merenungi kemerosotan perolehan suara,
boro-boro mikir capres. Ketika jajaran teras PDIP sibuk menyeleksi
cawapres, Jokowi dengan lincahnya bermanuver “satu langkah di depan
capres yang lain”.
Jika menilik hasil Quick Count (QC)
dan menjadikannya acuan, Partai Demokrat (PD) tentu saja yang paling
terpukul. Hasil QC membenarkan prediksi pengamat, bahwa PD dalam Pemilu
2014 akan menerima hukuman dari rakyat. Nampaknya segala upaya yang
dilakukan oleh SBY, selama berkuasa dan kampanye, tidak mampu meyakinkan
rakyat. Rakyat sudah jengah dengan perilaku kader PD, yang ditengarai
sarat korupsi. Konvensi calon presiden yang diluncurkan oleh PD, mahal
dan tak mampu mendongkrak menaikkan perolehan suara, atau sekedar
mengganjal hingga tak merosot.
Segera setelah hasil QC diumumkan, SBY
sebagai Ketua Umum PD, langsung mengucapkan selamat kepada parpol yang
memenangi Pileg. Secara khusus kepada PDIP dan Golkar yang mampu
menggeser posisi PD. Dengan raihan suara dalam Pileg yang
mengindikasikan rendahnya apresiasi rakyat pada prestasi pemerintahan
SBY, serta gagalnya upaya konvensi capres, nampaknya PD tak siap
mencalonkan capres. Untuk menggambarkan lesu darah PD ini, bisa dikutip
bahasa lugas Dahlan Iskan, “...dari menjemput nasib, menjadi menunggu
nasib”.
Sementara itu, tim Prabowo sedang sibuk
menghitung-hitung siapa bakal calon pasangan yang akan “mendampingi”
Prabowo dalam pemilihan presiden. Begitu juga yang dilakukan oleh Ketua
Umum Golkar, ARB sibuk menerima laporan perolehan jumlah kursi di DPR,
menimang dan menimbang calon cawapres. Di saat seperti itu, capres dari
PDIP telah melakukan hal-hal kongkrit. Jokowi melakukan silaturahmi
politik kepada Ketua Umum Nasdem dan Ketua Umum Golkar.
Demi Indonesia Raya
Patut diapresiasi cara PDIP yang
memisahkan “urusan partai” dan urusan “Capres Jokowi“. Sehingga langkah
politik yang dilakukan Jokowi sudah se”izin” Megawati. Atau memang dari
awal pen”capres”an, Jokowi sudah diberi kebebasan dan kepercayaan.
Meskipun ke”sepahaman” ini tak harus verbal, mengingat hubungan keduanya
sudah akrab. Sejak menjadi wali kota Solo, menjadi cagub dan gubernur
DKI Jakarta. Langkah Jokowi bisa juga ditafsirkan, Jokowi ingin
mengatakan kalau dia mandiri secara politik, menyangkal tuduhan “capres
boneka”.
Jokowi sudah melangkah mendahului capres
yang lain. Langkah ini menjadi catatan penting, karena hanya Jokowi
yang sanggup dan mampu melangkah enteng menemui tokoh-tokoh seperti
Surya Paloh, Aburizal Bakrie dan Jusuf Kalla. Kelincahan Jokowi
bermanuver, menyebabkan kandidat lain tertinggal satu (beberapa) langkah
di belakangnya.
Dalam Pilpres, posisi Surya Paloh dengan
Nasdem dan MetroTV amat strategis. Perolehan suara PDIP dan Nasdem jika
digabung menjadi 25 persen lebih, sudah cukup untuk mengantarkan Jokowi
menjadi capres. Surya Paloh di samping “pemilik” Nasdem, ia juga
pemilik Media Grup, dan
tentu saja kekuatan yang amat sangat penting. Pemilik MetroTV harus
dirangkul, karena Jokowi tak memiliki stasiun televisi, apalagi pesawat
terbang.
Memang hubungan MetroTV dengan Jokowi
sangat dekat. Terutama sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi
beberapa kali tampil dan ditampilkan di MetroTV. Sebagai sumber berita,
Jokowi penting bagi MetroTV. Dan MetroTV juga penting untuk
sosialisasikan program dan kerja Jokowi.
Tak kalah pentingnya, sosok Surya Paloh
yang “disimbolkan” sebagai sosok yang pluralis, amat dekat dengan sosok
dan sikap politik Jokowi. Sebagai mantan petinggi Golkar, sebagai
kompetitor ARB dalam pemilihan Ketua Umum Golkar, merangkul Surya Paloh
akan menjadi kekuatan yang dahsyat bagi PDIP dan Jokowi.
Langkah Jokowi menemui Surya Paloh,
kemudian ARB di Kantor Golkar di Slipi, juga dapat dimaknai sebagai
langkah cerdik untuk mengirim sinyal kepada rakyat, pendukung Golkar,
dan sekaligus pendukung Nasdem bahwa: Dalam Pilpres “memilih figur”, tak
lagi parpol.
Kepada rakyat, Jokowi ingin mengatakan,
hanya dia capres yang paling siap bekerjasama dengan siapa saja,
termasuk dengan Golkar untuk kejayaan Indonesia. Demi Indonesia Raya,
Jokowi rela merendahkan diri “sowan” ke capres dari Golkar tersebut. Ia
sedang mengatakan kepada rakyat pemilih (khususnya pemilih Jawa), Jokowi
“nglurug tanpo bolo” kepada “musuh”nya. Mendatangi ARB di Markas Golkar di Slipi.
Kepada jajaran Golkar, Jokowi
mengisyaratkan pengakuan pada kehebatan kader-kader Gokar dalam semua
lini kehidupan. Naluri politik Golkar untuk selalu ingin “berkuasa” dan
berada dalam kekuasaan, akan memudahkan Jokowi untuk mengakomodasi
mereka dalam jajarannya jika kelak berkuasa. Selain di kabinet,
kader-kader Golkar tentu saja dapat diandalkan di Gedung Senayan.
Jika berkuasa, Jokowi dapat leluasa
memilih kader-kader Golkar. Dalam DPR, kekuatan Golkar sangat diperlukan
sebagai pendukung kebijakan pemerintah. Pilihan utama mengunjungi Ical
dan Golkar, adalah pilihan rasional ala Jokowi.
(Jauhari Zailani, pengajar Universitas Muhammadiyah Lampung)
Tidak ada komentar:
Write komentar