Saat ini, kinerja pers dalam mengawal kasus-kasus korupsi sudah sangat
bagus dan sudah sangat baik dalam memberitakan serta ikut membantu
mengejar para pelaku kejahatan korupsi melalui pemberitaannya, apakah
itu di surat kabar maupun di media elektronik, demikian Sosiolog
Universitas Indonesia Thamrin Tamagola, menanggapi peran pers di
Indonesia.
Dalam melaksanakan tugasnya, pers sudah bisa membuat para koruptor gerah, sekalipun para koruptor berada di tempat persembunyiannya, karena pers melalui pemberitaannya membuat mereka tidak nyaman. Sangat wajar, bila masyarakat mengkritik pers karena pers lebih menempatkan dirinya sebagai provokator konflik, bukan memberikan nuansa ketenteraman pada publik. Pihaknya mengajak untuk melihat pers dari perspektif sejarah dan menilai seperti apa pers hari ini.
Ada satu era pers yang disebut sebagai pers perjuangan, melewati zaman Orde Lama hingga zaman Orde Baru maka pers berubah menjadi pers pembangunan. Secara perlahan maka pada akhirnya pers menjadi pers industri, dimana modal dan teknologi memegang peranan penting. Dunia pers masuk lebih jauh, bersamaan dengan masuknya modal bisnis ke dalam politik.
Di kalangan politik, celakanya sebanyak 60 persen politisi di DPR misalnya, adalah pengusaha atau mantan pengusaha. Akhirnya, semua draft peraturan yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara itu dihasilkan atas tekanan kepentingan bisnis. Dampaknya, pers benar-benar menampilkan sosok economic animal. Sekarang, bukan lagi pers industri, tetapi modal. Pers di atas tumpukan modal dan terus terobsesi pada akumulasi modal.
Ideologi making money berujung pada kompetisi media yang sangat sengit, dan itu berujung pada kerja yang sangat mengedepankan kerja cepat tetapi menafikan keakuratan. Pers bukan lagi mendukung calon yang didukung taipan. Tetapi taipan media itu menjadi calon kuat presiden yang akan datang. Sehingga, tidak semua taipan itu murni dari pers.
Dalam melaksanakan tugasnya, pers sudah bisa membuat para koruptor gerah, sekalipun para koruptor berada di tempat persembunyiannya, karena pers melalui pemberitaannya membuat mereka tidak nyaman. Sangat wajar, bila masyarakat mengkritik pers karena pers lebih menempatkan dirinya sebagai provokator konflik, bukan memberikan nuansa ketenteraman pada publik. Pihaknya mengajak untuk melihat pers dari perspektif sejarah dan menilai seperti apa pers hari ini.
Ada satu era pers yang disebut sebagai pers perjuangan, melewati zaman Orde Lama hingga zaman Orde Baru maka pers berubah menjadi pers pembangunan. Secara perlahan maka pada akhirnya pers menjadi pers industri, dimana modal dan teknologi memegang peranan penting. Dunia pers masuk lebih jauh, bersamaan dengan masuknya modal bisnis ke dalam politik.
Di kalangan politik, celakanya sebanyak 60 persen politisi di DPR misalnya, adalah pengusaha atau mantan pengusaha. Akhirnya, semua draft peraturan yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara itu dihasilkan atas tekanan kepentingan bisnis. Dampaknya, pers benar-benar menampilkan sosok economic animal. Sekarang, bukan lagi pers industri, tetapi modal. Pers di atas tumpukan modal dan terus terobsesi pada akumulasi modal.
Ideologi making money berujung pada kompetisi media yang sangat sengit, dan itu berujung pada kerja yang sangat mengedepankan kerja cepat tetapi menafikan keakuratan. Pers bukan lagi mendukung calon yang didukung taipan. Tetapi taipan media itu menjadi calon kuat presiden yang akan datang. Sehingga, tidak semua taipan itu murni dari pers.
Tidak ada komentar:
Write komentar