Neoliberalisme semakin merasuki
hampir di setiap sendi kehidupan di negara (baca: Indonesia) kita
tercinta ini. Paham tersebut dengan mudahnya masuk ke dalam sistem
ekonomi, sosial, budaya, politik, sampai pada hal yang paling
fundamental dalam kehidupan yakni pendidikan. Masuknya paham kapitalisme
dalam kemasan barunya “neoliberalisme” ditandai dengan adanya
kebijakan-kebijakan konstitusional pemerintah yang tidak pro-rakyat akan
tetapi semata-mata untuk kepentingan para pengusaha atau pemilik modal.
Ambil contoh, Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 tentang
pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di mana pihak ketiga dalam
hal ini pihak swasta atau pihak asing diperbolehkan melakukan investasi
di bidang pendidikan. jika pihak ketiga telah menginvestasikan sejumlah
tertentu modalnya, maka secara otomatis kendali pendidikan baik itu
operasional, manajemen, kurikulum, dan lain-lain sepenuhnya berada
ditangan sang pemilik modal. Masih banyak lagi kebijakan-kebijakan
konstitusional lain yang dirumuskan pemerintah yang terindikasi
merupakan hasil kerjasama atau perselingkuhan antara pemerintah dan
pengusaha/pemodal (kleptokrasi).
‘Demokrasi’ yang menjadi ikon
setelah tumbangnya rezim orde baru sekaligus sebagai penanda bangkitnya
orde reformasi memiliki catatan tersendiri. Orde reformasi dengan ciri
demokrasi yang telah berjalan kurang lebih 13 tahun ternyata tidak
membawa perubahan secara signifikan terhadap negeri ini. Pada satu sisi,
demokrasi memberikan kebebasan menyatakan pendapat, akan tetapi di sisi
lain justru demokrasi hanya menambah dan memperumit
permasalahan-permasalahan di negeri ini. Demokrasi politik misalnya,
yang ditandai dengan menjamurnya partai-partai politik (parpol) di
Indonesia, baik parpol yang menyatakan dirinya berideologi agama
tertentu maupun partai-partai lain yang mempunyai corak tertentu. Apa
yang salah dengan banyaknya partai politik? Bukankah hal ini adalah
bukti kesuksesan negara demokrasi?
Sebenarnya, parpol-lah yang
memegang kendali perpolitikan di Indonesia, anggota-anggota parpol
kemudian mengisi kursi-kursi jabatan di struktur pemerintahan karena
sistem di negeri ini memang menghendaki hal tersebut. Pertarungan antara
partai politik di pesta demokrasi (pemilu dan pilkada) terjadi setiap
lima tahun. Parpol pemenang yang dominan akan mengisi kursi-kursi
jabatan di pemerintahan dan orang-orang yang dipilih serta dianggap pro
terhadap parpol pemenang. Oleh karena itu, sangat jelas arah kebijakan
yang nantinya akan dilahirkan oleh pemerintah yang berkuasa, sehingga
bisa disimpulkan bahwa sebenarnya negara ini dikendalikan oleh partai
politik.
Jika kita melihat proses demokrasi
politik yang terjadi, “harga” demokrasi sangat mahal terbukti dengan
persaingan-persaingan antar parpol yang sangat ketat, mulai dari biaya
kampanye dan biaya-biaya lain yang bisa mempermulus naiknya sang calon
presiden atau calon bupati misalnya. Sehingga, orientasi pasca
terbentuknya pemerintahan yang baru bukan lagi pada “bagaimana
mensejahterahkan rakyat” akan tetapi “bagaimana mengembalikan semua
biaya-biaya yang telah dikeluarkan” sebelum terbentuknya pemerintahan
yang baru. Maka, lahirlah istilah korupsi, kolusi, nepotisme, dan
sebagainya di kalangan pemeritahan dengan satu tujuan yang sama yakni
mengembalikan modal dengan cara apapun. Dari sinilah gerbang masuknya
neolib ke sistem politik.
Makanya tidak heran ketika
kebijakan-kebijakan yang bersifat konstitusional sangat jarang yang pro
terhadap kesejahteraan rakyat. Fakta hari ini mendukung hal tersebut,
undang-undang atau peraturan-peraturan yang dibuat memang sengaja
membuka ruang-ruang privatisasi ataupun swastanisasi, misalnya UU
Penanaman Modal Asing (PMA) yang masih dipertahankan sampai hari ini
padahal jelas sangat merugikan rakyat banyak, Swastanisasi pendidikan
dan privatisasi BUMN serta perusahaan-perusahaan lain. Dibalik semua
aturan-aturan tersebut terdapat konspirasi antara kapitalis dan
politikus. Kalau zaman orde baru, corak
pemerintahan berdasarkan dwifungsi ABRI, maka rezim reformasi justru
memperlihatkan corak dwifungsi pengusaha, sehingga antara kebijakan
politik dan kebijakan ekonomi tidak dapat lagi dibedakan. Maka yang kita
lihat hari ini adalah politikus sekaligus sebagai pemodal.
Belum lagi, ketika kita melihat Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang dilakukan oleh DPR kita yang terhormat
dalam rangka perumusan kebijakan sungguh menelan biaya atau anggaran
yang tidak sedikit dan tentunya anggaran tersebut diambil dari uang
rakyat. Sangat ironis memang menyaksikan kejadian-kejadian tersebut.
Fakta hari ini menunjukkan bahwa politik digunakan sebagai alat atau tools
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak berpihak pada
kesejahteraan dan keadilan, ditambah lagi ‘hukum’ hari ini justru
menghamba pada politik, sehingga akan memperburuk kondisi negeri ini.
Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan yang ada atau minimal meminimalisir hal-hal
tersebut?
Mari kita bercermin terhadap
organisasi-organisasi perlawanan pra-kemerdekaan seperti Serekat Islam,
Serekat Dagang Islam, Indische Partij, dan lain-lain, menyadari dirinya
bahwa mereka adalah organisasi “perjuangan ideologis”, lain halnya
dengan parpol di era reformasi ini bukan organisasi perjuangan ideologis
melainkan semata-mata untuk mengejar keuntungan belaka. Padahal, parpol
yang membentuk corak demokrasi seharusnya adalah organisasi perjuangan
ideologis dan murni untuk mensejahterahkan rakyat banyak.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sistem
perpolitikan juga memberikan ‘kesempatan’ dan peluang kepada parpol
untuk melakukan kejahatan-kejahatan, ditandai dengan status ganda yang
dimiliki oleh pemimpin misalnya, sebagai anggota dewan atau presiden
sekaligus sebagai anggota partai atau pemimpin partai. Jadi wajar saja
kalau pemimpin hari ini justru sibuk memikirkan bagaimana menjaga citra
dan keberlangsungan partainya dibanding memikirkan kesejahteraan
rakyat. Oleh karena itu, solusi konkrit menurut penulis adalah di buat
garis demarkasi yang jelas antara kekuasaan (legislatif, eksekutif,
yudikatif) dan partai politik dalam hal ini tidak boleh ada status ganda
sebagai anggota parpol sekaligus sebagai pemimpin misalnya. Ketika
anggota parpol terpilih sebagai penguasa (presiden, bupati, anggota DPR,
atau apapun) maka secara otomatis keanggotaan di partai politik harus
ditanggalkan. Dan aturan tersebut harus dituangkan dalam bentuk aturan
dalam hal ini undang-undang.
Tidak ada komentar:
Write komentar