Alamat Biro Majalengka: Jl. Raya Bandung-Cirebon, Blok Warna Sari 2, Kosan 3 Saudara, Desa Gandasari, Kecamatan Kasokandel, Kabupaten Majalengka-Jawa Barat. Tlp. 085321202912, email:majalengkabiro@gmail.com. Alamat Redaksi SKU WIP: Jl. Holis No.16, Sudirman-Bandung, Tlp. 022-87786328 - 08122027778, email: redaksiwip@yahoo.com

MEMBANGUN KEMANDIRIAN DESA

Sejarah peradaban masyarakat kota modern di Indonesia tidak terlepas dari adanya transisi sosial pedesaan di era 1979 melalui Undang-undang No. 5 tentang Pemerintahan Desa, sampai dengan dikeluarkannya undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan kewenangan mengelola daerah sendiri, hingga era kontemporer. Namun, dari kurang lebih 54.000 desa di Indonesia, hanya beberapa yang mampu meningkatkan derajat kualitas hidup warganya dalam jangka panjang. Sedang selebihnya masih tertinggal baik dilihat dari aspek ekonomi, infrastruktur, teknologi, hingga kemampuan membangun jati diri desa itu sendiri. Dari permasalahan dan problematika seperti iniliah yang kemudian melahirkan konsep kemandirian desa. Sebagaimana yang disadari bersama bahwa kekuatan konfigurasi besar bangsa dan negara tentunya tidak terlepas dari kekuatan dan kemandirian desa. Kemandirian ini sendiri datang dari perubahan permasalahan yang kerap dihadapi oleh masyarakat desa saat ini adalah kemunduran dalam bidang pendidikan, yang ditandai dengan menurunnya kualitas pendidikan, minimnya sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan pendidikan, hingga berkurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya sebuah pendidikan. Sehingga tak jarang orang mengasumsikan masyarakat desa adalah masyarakat yang hidup dengan tingkat pendidikannya yang sangat rendah. Dan tanpa disadari, permasalahan di bidang inilah yang merupakan pangkal dari lahirnya permasalahan-permasalahan sosial lainnya, baik dalam hal ekonomi, politik, budaya, hingga permasalahan norma-norma etika dan moral. Beberapa fakta tersebut menunjukan bahwa pembangunan di negara kita belumlah merata secara menyeluruh. Pemerintah dalam hal ini pemerintah provinsi maupun pemerintah daerah belum mampu memformulasikan suatu regulasi yang lebih menekankan pada proses pelaksanaan tugas-tugas kepemimpinan desa yang berorientasi pada kemandirian pembangunan desa. Selain itu minimnya kesadaran masyarakat desa dalam membantu dan berpartisipasi secara aktif terhadap pembangunan desa semakin memperparah kondisi pembangunan di pedesaan saat ini. Karenanya dibutuhkan global partnership dari semua pihak yang bersangkutan terutama dalam mewujudkan kemandirian desa, melalui pengadaan program-program aktif dan dinamis dalam pembangunannya. Pengorganisiran Kelompok Masyarakat Desa Salah satu upaya penting yang dapat dilakukan dalam mewujudkan kemandirian desa adalah pengorganisiran kelompok masyarakat desa itu sendiri. Hal ini dirasa perlu, karena dengan adanya kelembagaan organisasi masyarakat desa akan mampu memberikan kontrol dalam pembangunannya di semua sektor, dengan pantauan langsung dari masyarakat atas dasar kesadaran bersama. Melalui agenda pertemuan-pertemuan dan musyawarah tingkat desa dari hampir semua kalangan akan menciptakan percepatan dalam pembangunan sumber daya manusia di desa tersebut. Dalam rangka pengorganisiran kelompok masyarakat ini, perlu adanya klasifikasi secara umum. Masyarakat desa dimana mayoritas mata pencahariannya adalah bertani perlu dipersatukan dalam suatu wadah yang dapat menampung kepentingan dan tujuan yang sama, dalam hal ini dalam bidang pertaniannya. Kelompok masyarakat atu civil society di tengah kehidupan pedesaan akan mampu menampung aspirasi dan keinginan dari para petani dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa yang sebagian besarnya adalah petani. Begitu pula ketika sebagian besar masyarakat desa berprofesi lain. Misalnya pada masyarakat di pesisir pantai yang sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan. Harus ada kelompok masyarakat yang mewadahi aktifitas nelayan. Para pemuda yang memiliki gagasan dan aktifitas yang lebih hendaknya diberikan ruang yang mampu menampung daya kreasi dan inovasinya dalam berpartisipasi membangun kemandirian desa. Dengan begitu juga akan menciptakan regenerasi dikalangan masyarakat desa. Kesejahteraan masyarakat desa didasarkan pada pendapatan masyarakat desa secara keseluruhan. Karakteristik masyarakat desa dimana mayoritas mata pencahariannya adalah bertani, sejatinya membutuhkan adanya suatu badan hukum yang mampu menunjang roda perekonomiannya di bidang pertanian. Dalam hal ini adanya koperasi desa merupakan indikator strategis dalam membantu masyarakat, baik dalam meningkatkan produktivitas komoditi pertaniannya maupun dalam menciptakan pasar komoditasnya. Sehingga akan melancarkan kegiatan perekonomian desa yang mandiri dan mewujudkan pasar lokal yang bersaing. Akan tetapi pola koperasi yang baerkeadilan memang masih menjadi persoalan, tak jarang ketika hadirnya koperasi di masyarakat malah menjadikan monopoli baru oleh segelitir orang yang memiliki modal besar. Pada akhirnya petani atau masyakat desa hanya menjadi buruh untuk memenuhi kebutuhan komoditas dalam koperasi. Ketika masyarakat desa hanya dijadikan sebagai kelas pekerja di tanah sendiri karena ada efisiensi oleh suatu korporasi untuk memenuhi komoditas jual ini mengakibatkan petani tidak pernah menjadi pelaku langsung pasar. Kewirausahaan di lingkungan desa harus dilakukan oleh masyarakat desa. Kehadiran para wirausaha dapat membantu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat desa. Berbagai komoditi yang dihasilkan dari pertanian dapat diolah secara kreatif sehingga mampu menciptakan produk yang lebih varian. Konsep pasar desa memang belum terealisai dengan baik. Pasar desa yang meliputi kebutuhan lokal sekitarnya adalah suatu konsep yang akan membuat komoditas lokal akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar desa. Artinya proyeksi pertanian bisa dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasar sekitar terlebih dahulu. Suplai barang dari luar desa hanya akan meliputi barang atau komoditas yang memang tidak ditanam di desa atau diproduksi di desa. Desentralisasi Desa. Dari berbagai upaya yang dilakukan dengan berkesinambungan tersebut dirasa akan mampu mewujudkan kemandirian desa dalam kegiatan perekonomiannya yang mandiri dan kegiatan sosialnya yang lebih maju. Kemandirian merupakan lepas dari ketergantungan, artinya ketergantungan dari patron negara adalah ”bapak” dan desa adalah ”anak”. “Desa harus jadi kekuatan ekonomi agar warganya tak hijrah ke kota...Desa adalah kenyataan Kota adalah pertumbuhan, Desa dan kota tak terpisahkan Tapi desa harus diutamakan...” (Iwan Fals - Desa) Penggalan lirik lagu diatas adalah gambaran akan kekuatan Desa. Namun, pada saat ini Desa selalu di jadikan sebagai obyek pembangunan tetapi Desa diharuskan bisa menjadi subyek pembangunan dan bisa menyelenggarakan pembangunannya secara mandiri agar masyarakat Desa bisa mengurangi pengangguran serta bisa menekan jumlah urbanisasi. Kemandirian desa sendiri datang dari perubahan pola berfikir masyarakat yang tradisional dengan lebih berfikir rasional. Sesuai dengan konstitusi, UU No. 32/2004 melakukan pembagian teritori (desentralisasi teritorial) NKRI menjadi provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 2 UU No. 32/2004 menegaskan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah”. Desa, karena itu, tidak termasuk dalam skema desentralisasi teritorial. UU No. 32/2004 tidak mengenal otonomi Desa, melainkan hanya mengenal otonomi daerah. Sisi yang lain adalah akuntabilitas kepala Desa. Pertanggungjawaban kepala Desa ditemukan di dalam penjelasan umum: "Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggung jawabannya..-..." Di dalam UU No. 32/2004 Pengakuan NKRI pada keberadaan Desa dituangkan dalam bentuk pengertian Desa: “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Klausul ini berupaya melokalisir Desa sebagai subyek hukum yang mengelola kepentingan masyarakat setempat, bukan urusan atau kewenangan pemerintahan, seperti halnya daerah. Desa sudah lama mengurus sendiri kepentingan masyarakat, untuk apa fungsi ini harus diakui oleh UU. Tanpa diakui oleh UU sekalipun, Desa sudah mengurus kepentingan masyarakat setempat. Klausul itu juga menegaskan bahwa negara hanya “mengakui” keberadaan Desa, tetapi tidak “membagi” kekuasaan pemerintahan kepada Desa. Desa hanya diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat (self governing community), bukan disiapkan sebagai entitas otonom sebagai local self government (Sumber : Naskah Akademik RUU Desa/forumdesa.org) UU No. 32/2004 memberikan definisi secara standar mengenai wewenang untuk mengelola “urusan” pemerintahan Desa. Kewenangan direduksi menjadi urusan. Bentuk kewenangan inilah yang harus dipertanyakan kembali. Dalam melepaskan ketergantungan itu sendiri hal tersebut akan membuat benturan hukum yang pada dasarnya harus dipatuhi. masyarakat desa dalam menentukan nasibnya sendiri dan lepas dari ketergantungan memang harus lebih dipahami. Desa harus lebih otonom agar proses pembangunan di segala bidang tidak tergantung pada apa yang direncanakan oleh pemerintah pusat. Melainkan lahir dari keinginan dan kebutuhan desa itu sendiri.

Tidak ada komentar:
Write komentar
Hanya dengan 50.000 dapat blog murah gratis Template Premium
close
<>

Translate

Wartawan

CATEGORY

close