Pemilihan Umum Presiden (pilpres) sudah berlalu, 9 Juli 2014 telah membuat
riak-riak kecil di masyarakat. Memang belumlah begitu besar. Masih dalam
batas-batas kewajaran. Baik menjelang pilpres mau pun sesudahnya. Wajar pula
jika ada yang puas dan ada yang tidak puas. Namun harus tetap dijaga berada di
dalam koridor aturan dan ketentuan hukum.
Dan, inilah yang dilakukan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai pihak yang
merasa tidak puas. Tidak puas terhadap penyelenggaraan pilpres. Menurut mereka
telah terjadi kecurangan. Ada pelanggaran. Puncaknya meledak saat Komisi
Pemilihan Umum (KPU) melakukan rekapitulasi, penghitungan suara tingkat
nasional. Prabowo Subianto, calon presiden (capres) menyatakan menarik diri dan
memerintahkan saksi mereka di KPU walk out (wo).
KPU taat asas dengan ketentuan dan jadual yang ada. Tak peduli dengan
penarikan diri Prabowo dan saksi. KPU tetap meneruskan rekapitulasi. Selasa, 22
Juli 2014 malam hari KPU memutuskan hasil penghitungan suara: Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa memperoleh 62.576.444 suara atau 46,85% dan Joko
Widodo-Jusuf Kalla 70.997. 833 suara atau 53.15 persen. Atas dasar itu KPU lalu
menetapkan Joko Widodo sebagai Presiden terpilih dan Jusuf Kalla sebagai Wakil
Presiden RI. SK nya diserahkan juga malam itu.
Pasangan Prabowo-Hatta menggunakan hak konstitusinya. Mereka menggunakan
jalur hukum. Resmi menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Surat gugatan
disampaikan ke MK beberapa menit sebelum tenggat waktu pukul 21.00 Jumat, 25
Juli 2014, batas terakhir pemasukan gugatan sesuai ketentuan UU.
MK wajib menangani sengketa pilpres itu. Jadualnya: Sidang pertama, 6
Agustus pleno terbuka mendengarkan keterangan lisan tim Prabowo-Hatta; Sidang
kedua, 7 Agustus penyampaian perbaikan permohonan tim Prabowo-Hatta; Sidang
ketiga, 8 Agustus mendengarkan KPU, Bawaslu dan pihak terkait; Sidang keempat,
mulai 11 Agustus selama enam-tujuh hari agenda pembuktian dan bantahan; Putusan
harus dijatuhkan paling lambat 14 hari kerja sejak permohonan. (Kompas 26/6).
Gugatan Prabowo-Hatta ke MK patut dihargai, meski ada yang menyesalkan.
Alasannya kenapa pelanggaran yang disebutkan tidak dilaporkan saat proses
penghitungan suara mulai tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota lalu di
tingkat provinsi. Kenapa baru disampaikan saat rekapitulasi tingkat nasional?
Pihak Prabowo-Hatta beralasan, mereka sudah melaporkannya ke KPU dan Bawaslu,
tapi menurut mereka tak dihiraukan. Kebenaran tentunya nanti dibuktikan di MK.
Proses yang terjadi sekarang adalah sesuai dengan ketentuan dan perundangan
yang ada. Semua pihak patut menghormati. Putusan KPU 22 Juli 2014 yang
menetapkan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang pilpres 2014, belumlah
final. Menunggu putusan MK atas sengketa yang terjadi jika ada pihak yang
menggugat karena merasa tidak puas. Dan Prabowo-Hatta memang melakukannya.
Mereka menggugat ke MK.
Bola sekarang berada di tangan MK. Semua pihak patut menaruh kepercayaan
penuh kepada lembaga ini. MK dipastikan tidak akan main-main. Kasus Akil
Mochtar, Ketua MK sebelum Hamdan Zoelva sudah cukup berat memukul. Kasus
tersebut telah meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum tersebut
sampai pada titik nadir.
Hamdan Zoelva selaku Ketua MK bersama para anggota sudah mempertaruhkan
segala sesuatunya demi meraih kembali nama baik MK, sebagai benteng terakhir
penegakan hukum di Indonesia. Boleh dibilang mereka berhasil. Putusan yang
dilakukan sudah memenuhi tuntutan keadilan masyarakat.
Akankah Hamdan Zoelva akan mempermainkan hukum dalam sengketa pilpres ini?
Terlalu mahal baginya. Ia sudah menegaskan sikap MK yang netral. Uang tak bisa
mempengaruhi putusan MK. Ia juga mempertegas MK tak bisa ditekan. Putusan MK
tetap berdasarkan hukum. Ia tetap pada prinsip: hukum harus ditegakkan meski
pun dunia akan runtuh.
Hamdan Zoelva pernah menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB),
2006-2008. Dan sekarang, PBB yang sudah lama ditinggalkannya itu merupakan
salah satu partai yang mendukung Prabowo-Hatta yang sedang berperkara di MK.
Perlukah dipertanyakan integritas Hamdan Zoelva dalam hal ini? Apakah diragukan
netralitasnya?
Sebenarnya Hamdan Zoelva sudah menunjukkan integritasnya. Beberapa putusan
MK selama ini memihak pada kebenaran. Misalnya, 20 Maret 2014, MK menolak
permohonan uji materi Yusril Ihza Mahendra terhadap UU nomor 42 tahun 2008
tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Padahal siapa pun tahu siapa Yusril
Ihza Mahendra. Ia pendiri PBB dan sempat menjadi Ketua Umum PBB 1999-2005, yang
kemudian diteruskan Hamdan Zoelva.
Saat menanti 22 Juli 2014 yang lalu masyarakat cukup tegang juga menunggu
putusan KPU siapa bakal jadi pemenang pilpres. Padahal banyak lembaga survey
sudah mengunggulkan Jokowi-JK. Dan memang putusannya tak jauh berbeda,
Jokowi-JK unggul atas Prabowo-Hatta, 53,15 persen berbanding 46,85 persen.
Berbeda tipis 6,3 persen setara dengan 8,421.389 suara. Menanti putusan MK yang
diperkirakan 21 Agustus 2014 bukan tidak mungkin masyarakat akan lebih tegang.
Kenapa? Karena putusan MK final dan mengikat. Beda dengan putusan KPU.
Kita percayakan saja kepada MK. Apalagi Ketua MK Hamdan Zoelva sudah kommit
MK tak bisa ditekan, uang tak bisa mempengaruhi putusannya. Dan ini sudah
ditunjukkannya dalam beberapa putusan MK yang lalu, meski pun perkaranya
menyangkut diri Yusril Ihza Mahendra, petinggi Partai Bulan Bintang, partai
yang sempat dipimpinnya.
Kita hormati putusan MK. Mari kita rajut kembali persatuan dan kesatuan yang
sempat tercabik-cabik di saat pilpres lalu. Masyarakat sudah bosan dan tak
ingin berlama-lama dengan hiruk pikuk politik yang cukup mengganggu selama ini
Tidak ada komentar:
Write komentar