Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
menemukan penyelewengan pendapatan dari sektor minyak dan gas (migas) sebelum
disetor ke kas negara senilai Rp7,5 triliun. Penyelewengan uang negara tersebut
terjadi pada 2003-2012.
Wakil Ketua BPK
Hasan Bisri di Jakarta, Minggu (18/8), mengatakan penyelewengan tersebut
terungkap dari hasil pemeriksaan pada Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Sejak 2003-2012, pemerintah telah mengeluarkan
biaya sekitar Rp7,5 triliun yang tidak masuk dalam APBN, melainkan diambil
langsung dari pendapatan sektor migas sebelum disetor ke kas negara, ujar
Hasan.
Pendapatan
negara tersebut diambil, kemudian dimasukkan dalam pos biaya operasional BP
Migas, yang tidak masuk dalam APBN. Hal ini tentu melanggar Undang-Undang
Keuangan Negara. Sebab, seluruh pendapatan yang menjadi hak negara dan seluruh
biaya atau belanja yang menjadi kewajiban/beban negara harus dimasukan dalam
APBN.
Temuan lain
adalah mengenai penjualan minyak mentah bagian pemerintah. Hasan menyebut ada
perusahaan industri pengolahan minyak mentah di Indonesia yang ditunjuk sebagai
penjual trader minyak mentah milik pemerintah, tetapi belum menyetor
seluruh hasil penjualan ke pemerintah, sebesar kurang lebih Rp1,34 triliun.
Perusahaan tersebut kini mengalami kesulitan keuangan, sehingga piutang BP
Migas menjadi piutang macet.
"Dalam
penelusuran lebih lanjut, diketahui penunjukan perusahaan tersebut dilakukan
oleh pejabat BP Migas tingkat menengah yang sebenarnya tidak berwenang,"
kata dia. Hal itu terjadi pada 2009 dan pengiriman minyak mentahnya dilakukan
pada 2010-2012, senilai kurang lebih Rp2,7 triliun.
Di samping itu,
lanjut Hasan, BPK setiap tahun melakukan pemeriksaan terhadap BP Migas,
khususnya dalam pengendalian cost recovery (CR) yaitu biaya yang dikeluarkan
oleh para kontraktor hulu migas, dalam kerangka kontrak bagi hasil migas.
Adapun pada
periode 2010-2012, BPK menemukan biaya yang semestinya tidak dibebankan dalam cost
recovery sebesar US$221,5 juta atau setara Rp2,25 triliun. Dan temuan itu
sudah didiskusikan dan diakui oleh para kontrak hulu migas dan sebagian sudah
ditindaklanjuti dalam perhitungan CR tahun berikutnya. Semua itu terjadi karena
kelemahan pengawasan/kontrol BP Migas terhadap para kontraktror hulu migas,
sebutnya.
Pascaputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang membubarkan BP Migas, proses tender operasi
kontraktor minyak dan gas dilakukan oleh lembaga pengganti yakni Satuan Kerja
Khusus Pelaksana Usaha Hulu (SKK) Migas. Namun, aksi penyelewengan masih
terjadi. Terlebih setelah Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini tertangkap tangan
menerima suap dari Kernel Oil Pte Ltd.
Selasa (13/8),
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membekuk Rudi di rumahnya di Jalan Brawijaya
VIII, Jakarta Selatan. Rudi ditangkap bersama barang bukti uang suap US$400
ribu dari Simon Gunawan. Selain itu, KPK menyebutkan ada suap lain dari Simon
senilai US$300 ribu sebelum lebaran.
BPK sudah
mengantongi data perusahaan pedagang migas sejak 2010. Menurut dia, saat ini
ada sekitar 20 pedagang migas di Indonesia, termasuk Kernel Oil. Perusahaan itu
sudah mendapatkan kontrak perdagangan sejak 2010.
Namun, Hasan
enggan berkomentar lebih dalam terhadap peristiwa tersebut. Apalagi, menyoal
pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik yang
mengaku tidak mengenal Kernel Oil.
Ia menunggu hasil pemeriksaan terhadap SKK
Migas, apabila disetujui oleh DPR. "Saya tidak dalam posisi untuk
mengonfirmasi pernyataan orang lain. Saya bicara sesuai dengan laporan hasil
pemeriksaan (LHP) yang sudah dipublikasikan," tutupnya.
Sunber: Net
Tidak ada komentar:
Write komentar